PERLINDUNGAN
KEWARGANEGARAAN INDONESIA DI LUAR NEGERI
Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur
pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara
warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban
terhadap negaranya. Sebaliknya negara mempunyai kewajiban memberikan
perlindungan terhadap warganya. Dalam undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang
kewarganegaraan republik Indonesia terdapat asas perlindungan maksimum.
Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib
memberikan perlindungan penuh terhadap setiap warga Negara Indonesia dalam
keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan asas
perlindungan maksimum negara wajib memberikan perlindungan terhadap warga
negara. Namun, pada kenyataannya seringkali terjadi negara tidak mampu
melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan perlindungan sebagaimana
mestinya, bahkan negara yang bersangkutan justru melakukan tindakan
penindasan terhadap warga negaranya. Ketika negara yang bersangkutan tidak mau
(unwilling ) atau tidak mampu (unable) memberikan perlindungan terhadap
warga negaranya seringkali terjadi seseorang mengalami penindasan yang serius
atas hak-hak dasarnya.
Di
lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya
yang tinggal (berada) di luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan prinsip
kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi
atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat
hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat
terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran,
maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum. Tanggung
jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga negaranya yang berada
di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatik dan konsuler suatu negara. Fungsi diplomatik dalam melindungi
warga negara suatu negara terdapat dalam fungsi Perlindungan (protection).
Gerhard Von Glahn memberikan batasan mengenai istilah proteksi “the diplomatic
has a duty to look after the interest person and property of citizens of his
own state in the recieving state. He must be ready to assist them, they get
into trouble abroad, may have to take charge of their bodies and effect if they
happen to die on a trip and in general act as a trouble shooter for his fellow
nationals in the recieving state”. Ternyata, apa yang dikemukakan oleh Von
Glahn tersebut sebenarnya telah ditentukan oleh konvensi wiena 1961. Dalam
konvensi tersebut ditegaskan bahwa perwakilan diplomatik berfungsi melindungi
kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya di dalam wilayah
di mana ia di diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum
internasional. Fungsi Konsuler di atur dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1963 tentang
Hubungan Konsuler. Dalam salah satu butir Pasal 5 Konvensi Wina 1963 tersebut
dinyatakan bahwa, “Consular functioning consit in: protecting in the receiving
State the interests of sending state and of its nationals, both individuals and
bodies corporate, within the limits permitted by international law”.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya
perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima berkewajiban untuk
melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.
Berbicara mengenai status hukum, status hukum seseorang yang
mendiami suatu negara disebut dengan warga negara. Status warga negara
perlu dipergunakan untuk keperluan serta melindungi setiap individu
secara hukum. Instrument internasional sebatas mengantisipasi relasi warga
negara dengan warga negara lain atau negara dengan warga negara lain. Warga
negara merupakan warga dari suatu negara. Seseorang disebut warga negara suatu
negara bukan ditentukan oleh hukum positif dari masing-masing negara. Misalnya
yang disebut sebagai warga negara Indonesia tentunya akan diatur berdasarakan
hukum positif Indonesia. Pada akhirnya warga negara menjadi penting dalam suatu
negara karena ia merupakan salah satu unsur inti dari negara. Pada sisi lain,
status warga negara menimbulkan hubungan timbal balik antara negara dengan
warga negaranya.
Warga
negara Indonesia di luar negeri memiliki berbagai kepentingan yang berbeda yang
menimbulkan berbagai permasalahan berbeda terutama disebabkan oleh Kurangnya
pengetahuan akan hukum internasional dan hukum yang berada di berbagai negara
di luar negeri. Hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah terhadap warga
negara indonesia di luar negeri. Permasalahan yang kerap terjadi bagi warga
negara Indonesia yang berada di luar negeri adalah kasus perdata, atau
pidana dan administrasi Negara. Permasalahan warga negara Indonesia di luar negeri kerap
terjadi di berbagai negara. Dalam kurun waktu Juli 2011 hingga Desember
2012, sejumlah 328 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Sebanyak 203 orang
di antaranya terancam hukuman mati terkait tindak pidana narkoba. Sedikitnya 48
warga negara Indonesia (WNI) yang tengah berada di luar negeri terancam hukuman
mati di Arab Saudi dengan berbagai kasus tindak pidana. Berdasarkan data
dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu), jelasnya, selain didakwa kasus
pembunuhan, banyak WNI yang kebanyakan adalah (TKI) itu didakwa kasus berzina
dan menyalahgunaan obat terlarang.
Beberapa tahun terakhir ini masalah perlindungan WNI di Luar
negeri memang mendapat sorotan yang cukup tajam. Betapa tidak, dalam rentang
beberapa tahun tercatat sudah cukup banyak tindakan kesewenang-wenangan
yang menimpa WNI di luar negeri, terutama tenaga kerja Indonesia (TKI).
Pengusiran tenaga kerja asal Indonesia dari Malaysia adalah satu dari sejumlah
kasus lainnya. Tercatat pula sejumlah kasus penganiayaan dan pelecehan
seksual terhadap pekerja Indonesia di negeri orang.
Pemerintah Indonesia pada tanggal 18 oktober 2004 telah
memberlakukan UU No. 39/2004 tentang penempatan dan perrlindungan Tenaga Kerja
Indonesia di Luar Negeri. UU No. 39/2004 menjelaskan bahwa pekerjaan
mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap
orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat juga dimaknai sebagai sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Oleh
karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri orang
yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati.
Dari
tahun ke tahun jumlah TKI di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo
tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya jumlah TKI
yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi positif,
yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri namun mempunyai
pula sisi negatif berupa risiko kemungkinan terjadinya perlakuan yang
tidak manusiawi terhadap TKI. Risiko
tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja
di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian diperlukan
pengaturan agar risiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI dapat
dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakikatnya ketentuan hukum yang
dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan yang mampu mengatur pemberian
pelayanan penempatan bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan
penempatan secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak
berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut
memicu terjadinya penempatan tenaga kerja ilegal yang tentunya berdampak
kepada minimnya perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
Selama
ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penempatan
dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengarahan Orang
Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887
Nomor 8) dan keputusan menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam
ordonansi sangat sederhana sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan
yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adannya undang-undang yang
mengatur perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri selama ini
diatasi melalui pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.
Dikaitkan
dengan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan
perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka
sudah sewajarnya apabila kewenangan penempatan dan perlindungan TKI di
luar negeri merupakan kewenangan pemerintah namun pemerintah tidak dapat
bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan pemerintah provinsi maupun
kabupaten atau kota serta intitusi swasta. Di lain pihak karena masalah
penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan
masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi
swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek
komitmen, profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak
azasi warga negara yang bekerja di luar negeri tetap terlindungi.
Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan
perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982
tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang
Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special
Missions). Tahun 1969, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang
hubungan Luar Negeri. Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI
pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan
tetap melindungi hak-hak TKI.
Selain
peran wakil diplomatik dan konsuler
Indonesia yang berada di luar negeri,
Kemeterian Luar Negeri RI sebagai
pemerintah merupakan institusi
terdepan dalam menangani berbagai permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar
negeri. Kewajiban kementrian luar negeri dalam menangani dan melindungi
TKI sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan dan
keamanan TKI diluar negeri.