Tuesday, March 17, 2015

Pendidikan Kewarganegaraan



PERLINDUNGAN KEWARGANEGARAAN INDONESIA DI LUAR NEGERI

Warga negara merupakan salah satu unsur hakiki dan unsur pokok suatu negara. Status kewarganegaraan menimbulkan hubungan timbal balik antara warga negara dan negaranya. Setiap warga negara mempunyai hak dan kewajiban terhadap negaranya. Sebaliknya negara mempunyai kewajiban memberikan perlindungan terhadap warganya. Dalam undang-undang nomor 12 tahun 2006 tentang kewarganegaraan republik Indonesia terdapat asas  perlindungan maksimum. Asas perlindungan maksimum adalah asas yang menentukan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan penuh terhadap setiap warga Negara Indonesia dalam keadaan apapun baik di dalam maupun di luar negeri. Berdasarkan asas perlindungan maksimum negara wajib memberikan  perlindungan terhadap warga negara. Namun, pada kenyataannya seringkali terjadi negara tidak mampu melaksanakan tanggung jawabnya dengan memberikan perlindungan sebagaimana mestinya, bahkan negara yang  bersangkutan justru melakukan tindakan penindasan terhadap warga negaranya. Ketika negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling ) atau tidak mampu (unable) memberikan perlindungan terhadap warga negaranya seringkali terjadi seseorang mengalami penindasan yang serius atas hak-hak dasarnya.

Di lain pihak, negara juga mempunyai kewajiban untuk melindungi warga negaranya yang tinggal (berada) di luar negeri. Hal tersebut sesuai dengan prinsip kewarganegaraan pasif yang menetapkan bahwa suatu negara mempunyai yurisdiksi atas orang yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah negara lain, yang akibat hukumnya menimpa warga negaranya. Oleh karena itu, jika negara tempat terjadinya pelanggaran tidak mampu dan tidak mau menghukum pelaku pelanggaran, maka negara yang warga negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum. Tanggung jawab dan kewajiban suatu negara untuk melindungi warga negaranya yang berada di luar negeri diemban oleh fungsi diplomatik dan konsuler suatu negara. Fungsi diplomatik dalam melindungi warga negara suatu negara terdapat dalam fungsi Perlindungan (protection). Gerhard Von Glahn memberikan batasan mengenai istilah proteksi “the diplomatic has a duty to look after the interest person and property of citizens of his own state in the recieving state. He must be ready to assist them, they get into trouble abroad, may have to take charge of their bodies and effect if they happen to die on a trip and in general act as a trouble shooter for his fellow nationals in the recieving state”. Ternyata, apa yang dikemukakan oleh Von Glahn tersebut sebenarnya telah ditentukan oleh konvensi wiena 1961. Dalam konvensi tersebut ditegaskan bahwa perwakilan diplomatik berfungsi melindungi kepentingan-kepentingan negara pengirim serta warga negaranya di dalam wilayah di mana ia di diakreditasikan dalam batas-batas yang diperkenankan oleh hukum internasional. Fungsi Konsuler di atur dalam Pasal 5 Konvensi Wina 1963 tentang Hubungan Konsuler. Dalam salah satu butir Pasal 5 Konvensi Wina 1963 tersebut dinyatakan bahwa, “Consular functioning consit in: protecting in the receiving State the interests of sending state and of its nationals, both individuals and bodies corporate, within the limits permitted by international law”. Berdasarkan pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa sesungguhnya  perwakilan konsuler negara pengirim di negara penerima berkewajiban untuk melindungi warga negaranya dan kepentingan mereka.

Berbicara mengenai status hukum, status hukum seseorang yang mendiami suatu negara disebut dengan warga negara. Status warga negara  perlu dipergunakan untuk keperluan serta melindungi setiap individu secara hukum. Instrument internasional sebatas mengantisipasi relasi warga negara dengan warga negara lain atau negara dengan warga negara lain. Warga negara merupakan warga dari suatu negara. Seseorang disebut warga negara suatu negara bukan ditentukan oleh hukum positif dari masing-masing negara. Misalnya yang disebut sebagai warga negara Indonesia tentunya akan diatur berdasarakan hukum positif Indonesia. Pada akhirnya warga negara menjadi penting dalam suatu negara karena ia merupakan salah satu unsur inti dari negara. Pada sisi lain, status warga negara menimbulkan hubungan timbal balik antara negara dengan warga negaranya.


Warga negara Indonesia di luar negeri memiliki berbagai kepentingan yang berbeda yang menimbulkan berbagai permasalahan berbeda terutama disebabkan oleh Kurangnya pengetahuan akan hukum internasional dan hukum yang berada di berbagai negara di luar negeri. Hal tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah terhadap warga negara indonesia di luar negeri. Permasalahan yang kerap terjadi bagi warga negara Indonesia yang  berada di luar negeri adalah kasus perdata, atau pidana dan administrasi Negara. Permasalahan warga negara Indonesia di luar negeri kerap terjadi di  berbagai negara. Dalam kurun waktu Juli 2011 hingga Desember 2012, sejumlah 328 WNI di luar negeri terancam hukuman mati. Sebanyak 203 orang di antaranya terancam hukuman mati terkait tindak pidana narkoba. Sedikitnya 48 warga negara Indonesia (WNI) yang tengah berada di luar negeri terancam hukuman mati di Arab Saudi dengan berbagai kasus tindak  pidana. Berdasarkan data dari Kementerian Luar Negeri (Kemlu), jelasnya, selain didakwa kasus pembunuhan, banyak WNI yang kebanyakan adalah (TKI) itu didakwa kasus berzina dan menyalahgunaan obat terlarang.

Beberapa tahun terakhir ini masalah perlindungan WNI di Luar negeri memang mendapat sorotan yang cukup tajam. Betapa tidak, dalam rentang  beberapa tahun tercatat sudah cukup banyak tindakan kesewenang-wenangan yang menimpa WNI di luar negeri, terutama tenaga kerja Indonesia (TKI). Pengusiran tenaga kerja asal Indonesia dari Malaysia adalah satu dari sejumlah kasus lainnya. Tercatat pula sejumlah kasus penganiayaan dan  pelecehan seksual terhadap pekerja Indonesia di negeri orang.

Pemerintah Indonesia pada tanggal 18 oktober 2004 telah memberlakukan UU No. 39/2004 tentang penempatan dan perrlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. UU No. 39/2004 menjelaskan bahwa  pekerjaan mempunyai makna yang sangat penting dalam kehidupan manusia sehingga setiap orang membutuhkan pekerjaan. Pekerjaan dapat juga dimaknai sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi dirinya dan keluarganya. Oleh karena itu hak atas pekerjaan merupakan hak asasi yang melekat pada diri orang yang wajib dijunjung tinggi dan dihormati.

Dari tahun ke tahun jumlah TKI di luar negeri semakin meningkat. Besarnya animo tenaga kerja yang akan bekerja ke luar negeri dan besarnya  jumlah TKI yang sedang bekerja di luar negeri di satu segi mempunyai sisi  positif, yaitu mengatasi sebagian masalah pengangguran di dalam negeri namun mempunyai pula sisi negatif berupa risiko kemungkinan terjadinya  perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI. Risiko tersebut dapat dialami oleh TKI baik selama proses keberangkatan, selama bekerja di luar negeri maupun setelah pulang ke Indonesia. Dengan demikian diperlukan pengaturan agar risiko perlakuan yang tidak manusiawi terhadap TKI dapat dihindari atau minimal dikurangi. Pada hakikatnya ketentuan hukum yang dibutuhkan dalam masalah ini adalah ketentuan yang mampu mengatur pemberian pelayanan penempatan  bagi tenaga kerja secara baik. Pemberian pelayanan penempatan secara baik didalamnya mengandung prinsip murah, cepat, tidak berbelit-belit dan aman. Pengaturan yang bertentangan dengan prinsip tersebut memicu terjadinya  penempatan tenaga kerja ilegal yang tentunya berdampak kepada minimnya  perlindungan bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
Selama ini, secara yuridis peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri adalah Ordonansi tentang Pengarahan Orang Indonesia Untuk Melakukan Pekerjaan Di Luar Indonesia (Staatsblad Tahun 1887 Nomor 8) dan keputusan menteri serta peraturan pelaksanaannya. Ketentuan dalam ordonansi sangat sederhana sehingga secara praktis tidak memenuhi kebutuhan yang berkembang. Kelemahan ordonansi itu dan tidak adannya undang-undang yang mengatur  perlindungan dan penempatan TKI di luar negeri selama ini diatasi melalui  pengaturan dalam Keputusan Menteri serta peraturan pelaksanaannya.
Dikaitkan dengan praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia masalah penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, menyangkut juga hubungan antar negara, maka sudah sewajarnya apabila kewenangan  penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri merupakan kewenangan  pemerintah namun pemerintah tidak dapat bertindak sendiri, karena itu perlu melibatkan pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota serta intitusi swasta. Di lain pihak karena masalah penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia langsung berhubungan dengan masalah nyawa dan kehormatan yang sangat azasi bagi manusia, maka institusi swasta yang terkait tentunya haruslah mereka yang mampu, baik dari aspek komitmen,  profesionalisme maupun secara ekonomis, dapat menjamin hak-hak azasi warga negara yang bekerja di luar negeri tetap terlindungi.
Dengan mempertimbangkan kondisi yang ada serta peraturan  perundang-undangan, termasuk didalamnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi Wina 1961 mengenai Hubungan Konsuler, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1982 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Misi Khusus (Special Missions). Tahun 1969, dan Undang-undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang hubungan Luar Negeri. Undang-undang tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri dirumuskan dengan semangat untuk menempatkan TKI pada jabatan yang tepat sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya, dengan tetap melindungi hak-hak TKI.

Selain peran wakil diplomatik dan konsuler Indonesia yang berada di luar negeri, Kemeterian Luar Negeri RI sebagai pemerintah merupakan institusi terdepan dalam menangani berbagai permasalahan tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Kewajiban kementrian luar negeri dalam menangani dan melindungi TKI sangat dibutuhkan untuk kesejahteraan dan keamanan TKI diluar negeri.

Pendidikan Kewarganegaraan



PELANGGARAN HAK WARGA NEGARA DAN SOLUSINYA

1.        Pelanggaran Hak Warga Negara

Hak dan kewajiban negara terhadap hak-hak dasar warga negara pada dasarnya merupakan kewajiban dan hak warga negara tehadap negara. Beberapa contoh kewajiban negara adalah kewajiban negara untuk menjamin sistem hukum yang adil, kewajiban negara untuk menjamin hak asasi warga negara, kewajiban negara untuk mengembangkan sistem pendidikan nasional untuk rakyat, kewajiban negara memberi jaminan sosial, kewajiban negara memberi kebebasan beribadah. Beberapa contoh hak negara adalah hak negara untuk ditaati hukum dan pemerintahan, hak negara untuk dibela, hak negara untuk menguasai bumi air dan kekeyaan untuk kepentingan rakyat.
Berikut ini adalah beberapa hak dan kewajiban negara terhadap hak-hak dasar warga negara yang telah diatur di dalam UUD 1945:
1.  Wujud Hubungan Warga Negara dengan Negara Wujud hubungan warga negara dan negara pada umumnya berupa peranan (role).
2.  Hak dan Kewajiban Warga Negara Indonesia Hak kewajiban warga negara Indonesia tercantum dalam pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 1945.

Hak Warga Negara Indonesia :

·         Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak : ‘Tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” (pasal 27 ayat 2).
·         Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”(pasal 28A).
·         Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah  (pasal 28B ayat 1).
·         Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
·         Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
·         Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
·         Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum.(pasal 28D ayat 1).
·         Hak untuk mempunyai hak milik pribadi Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1).

2.       Bentuk Pelanggaran  Hak Warga Negara
Yang termasuk pelanggaran hak warga negara  menurut UU yaitu:
a.       Penangkapan dan penahanan seseorang demi menjaga stabilitas, tanpa berdasarkan hukum.
b.      Pengeterapan budaya kekerasan untuk menindak warga masyarakat yang dianggap ekstrim yang dinilai oleh pemerintah mengganggu stabilitas keamanan yang akan membahayakan kelangsungan pembangunan.
c.       Pembungkaman kebebasan pers dengan cara pencabutan SIUP, khususnya terhadap pers yang dinilai mengkritisi kebijakan pemerintah, dengan dalih mengganggu stabilitas keamanan.
d.      Menimbulkan rasa ketakutan masyarakat luas terhadap pemerintah, karena takut dicurigai sebagai oknum pengganggu stabilitas atau oposan pemerintah (ekstrim), hilangnya rasa aman demikian ini merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi warga negara.
e.      Pembatasan hak berserikat dan berkumpul serta menyatakan pendapat, karena dikhawatirkan akan menjadi oposan terhadap pemerintah.

Berikut ini adalah beberapa Kasus pelanggaran ataupun kontroversi HAM dan Hak Warga Negara khususnya yang terjadi di Negara kita.
·          Hukuman Mati

Kontroversi hukuman mati sudah sejak lama ada di hampir seluruh masyarakat dan negara di dunia. Indonesia pun tak luput dari kontroversi ini. Sampai hari ini pihak yang pro hukuman mati dan yang kontra hukuman mati masih bersilang sengketa. Masing-masing datang dengan rasional dan tumpukan bukti yang berseberangan, dan dalam banyak hal seperti mewakili kebenaran itu sendiri.

Seharusnya kontroversi itu berakhir ketika UUD 1945 mengalami serangkaian perubahan. Dalam konteks hukuman mati kita sesungguhnya bicara tentang hak-hak asasi manusia yang dalam UUD 1945 setelah perubahan masuk dalam Bab XA. Pasal 28A dengan eksplisit mengatakan: “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”.
Jadi, ‘hak untuk hidup’ atau ‘the right to life’ adalah hak yang paling mendasar dalam UUD 1945. Hak untuk hidup ini adalah puncak hak asasi manusia yang merupakan induk dari semua hak asasi lain.

·          PILKADA

Semestinya ajang pemilihan kepala daerah (pilkada) menjadi wadah yang menghidupkan demokrasi lokal dengan berfungsinya organ-organ politik di daerah. Meski demikian, sepanjang sejarah penyelenggaraan pilkada di Indonesia, ternyata sarat pelanggaran hak warga Negara.

Salah satu penyebabnya adalah kebebasan yang terlalu meluas demikian cepat menyebabkan membanjirnya partisipasi dalam pencalonan kandidat kepala daerah, sementara ruang kompetisi sangat ketat dan terbatas.

Lagi pula, bayang-bayang potensi kekuasaan dan kekayaan yang amat menjanjikan dari jabatan kepala daerah menarik minat banyak kandidat, sementara kebanyakan dari mereka tidak memiliki integritas moral dan kapasitas keahlian yang memadai. Karena itu,tidak jarang cara-cara licik dan premanisme politik,entah sengaja atau terpaksa,digunakan dalam politik perebutan kekuasaan.Di sinilah pelanggaran Hak warga Negara  kerap terjadi.

·          EMAIL BERUJUNG BUI

Kasus yang menimpah Prita Mulyasari cukup menarik. Sebetulnya bukan termasuk besar, tetapi rupanya ada konspirasi yang membesar-besarkan. Kasus ini bermula dari kejadian ” Curhat ” dan bersifat pribadi dari korban ( pasien ) di RS Omni Internasional atas dampak pengobatan yang mengakibatkan korban mengalami luka tambahan dari luka lama. Curhat tersebut dia ungkapkan kepada sahabatnya via email. Artinya si Prita dapat disebut sebagai pihak ” Konsumen ” dari penyedia jasa layanan usaha RS Omni tersebut. Sebagai konsumen Prita punya hak menyampaikan unek-unek ketidakpuasannya terhadap pelayanan penyedia jasa dan itupun dilindungi Undang – Undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Penegakan hukum terhadap Prita jelas-jelas melanggar Haknya Sebagai Warga Negara, Polres dan Kajari Tangerang dapat dituntut balik beserta Rumah sakitnya, demi nama baik dan kerugian yang diderita ibu 2 orang anak Balita ini.

·          Tragedi trisakti

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka. Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.

·          Penggusuran Rumah

Penggusuran terhadap rumah warga selalu terjadi setiap tahun. Tata ruang kota selalu menjadi alasan bagi pemerintah untuk melakukan kebijakan yang merugikan bagi sebagian warga kota itu.Kebijakan pemerintah melakukan penggusuran ini dinilai sebagai bentuk pelanggaran Hak Warga Negara.

3.       Solusi dari permasalahan pelanggaran hak warga negara
·         Supremasi hukum dan demokrasi harus ditegakkan. Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat, memberikan perlindungan kepada setiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan menghindari tindakan kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan hukum.
·         Meningkatkan kualitas pelayanan publik untuk mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran       HAM oleh pemerintah.
·         Meningkatkan kerja sama yang harmonis antarkelompok atau golongan dalam masyarakat agar mampu saling memahami dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing
·         Meningkatkan penyebarluasan prinsip-prinsip HAM kepada masyarakat melalui lembaga pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi) maupun nonformal (kegiatan-kegiatan keagamaan dan kursus-kursus).
·         Meningkatkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga-lembaga politik terhadap setiap upaya  penegakan HAM yang dilakukan oleh pemerintah.
·         Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara.