Pentingnya Pembangunan Kota Hijau Berwawasan
Lingkungan
Perubahan iklim yang terjadi pada dua dekade belakangan ini akan menjadi
masa perubahan iklim yang belum pernah terjadi sebelumnya dan tidak pasti. Hal
ini tentunya menjadi kekhawatiran bagi umat manusia akan timbulnya bencana alam
yang datang secara tiba-tiba.
Apalagi saat ini dunia sedang dihadapkan pada permasalahan degradasi kondisi
lingkungan seperti pencemaran air, udara dan tanah tidak terelakkan lagi
seiring perkembangan pembangunan di seluruh dunia terutama di perkotaan.
Urbanisasi secara besar-besaran terjadi di sebagian besar kota-kota besar di
dunia karena tidak ada keseimbang pembangunan antara desa dan kota. Daya dukung
kota-kota semakin lemah dalam memfasilitasi kebutuhan warga kota dan polusi
udara dan pencemaran air serta tanah semakin menjadi.
Pemenuhan kebutuhan warga untuk bisa hidup sehat, nyaman dan sejahtera,
menjadi persoalan yang perlu dicari solusinya oleh semua pihak. Seiring
jalannya pembangunan, dalam upaya memberikan kenyaman dan lingkungan sehat bagi
warga kota, Konsep “Green City” dan “Eco City” (kota hijau berwawasan
lingkungan) dapat menjadi solusi bagi pelaku pembangunan kota.
Kota hijau yang dimaksud di sini adalah pengefektifan dan mengefisiensikan
sumberdaya air dan energi, mengurangi limbah, menerapkan sistem transportasi
terpadu, menjamin adanya kesehatan lingkungan, dan mampu mensinergikan
lingkungan alami dan buatan, yang berdasarkan perencanaan dan perancangan kota
yang berpihak pada prinsip-prinsip pembangunan yang berkelanjutan (lingkungan,
sosial, dan ekonomi).
Kota Hijau memiliki delapan atribut dalam hal prosesnya yaitu Green Planning
and Desain, Green Community, Green Building, Green Energy, Green Water, Green
Transportation, Green Waste, Green Openspace.
Green Building Council Indonesia (GBCI) mencatat dampak dari bangunan gedung
rerata mengeluarkan 30 persen emisi CO2, sekitar 17 persen air bersih, konsumsi
kayu 25 persen, energi (30-40 persen), dan faktor-faktor lain hingga 100% persen.
Untuk mewujudkan Indonesia menjadi Kota Hijau dalam rangka menghadapi
perubahan iklim, diperlukan kerja sama dari masyarakat dan pemerintah. Tindakan
sebelumnya yang dimulai dari konsep, ditingkatkan menjadi aksi nyata bersama.
Pemerintah Indonesia sendiri saat ini telah mencanangkan program kota hijau
yang berbasiskan masyarakat (empowerment), melalui programnya yaitu Program
Pengembangan Kota Hijau (P2KH) yang dalam implementasinya dimuat dalam Rencana
Tata Ruang Wilayah (RTRW) kabupaten dan Kota.
Kendala Penerapan sistem “Green Building” di Indonesia khususnya kota-kota
besar seperti Kota Surabaya hingga kini dinilai belum dilakukan secara maksimal
dan belum merata karena masih banyak gedung-gedung yang belum banyak menerapkan
sistem tersebut.
“Green building” atau bangunan yang memiliki visi ramah lingkungan tidak
terbatas pada gedung-gedung bertingkat, melainkan bangunan lain seperti
perumahan. Kota Surabaya sebenarnya sudah menerapkan itu, hanya saja tidak
semua orang yang mengetahuinya. Makanya saat ini perlu dikembangkan dan
didengungkan.
Bangunan memberikan kontribusi yang besar terhadap gas rumah kaca, selain
transportasi massal cepat. Karena itulah, mau tidak mau “green building” jadi
prioritas agar kualitas lingkungan lebih baik.
Gedung pemerintahan di Surabaya masih banyak yang belum menerapkan sistem
tersebut, sehingga ke depan, pihaknya akan menekankan untuk kantor pemerintahan
mulai dari tingkat kelurahan, kecamatan hingga kantor setingkat dinas di
pemerintah kota menerapkannya.
Prinsip sudah diterapkan dan sudah ada evaluasi untuk gedung pemerintahan,
tinggal bagaimana mengoptimalkan sirkulasi pencahayaan alami, sirkulasi udara
yang tidak semata-mata mengandalkan AC dan instalasi pengolaan limbah.
Untuk gedung yang sudah menerapkan sistem “green building” di antaranya
adalah gedung BRI Tower, Graha Pangeran dan Graha Wonokoyo. Untuk gedung Graha
Pangeran dan Graha Wonokoyo sudah mendapatkan sertifikat “green building” dari
ASEAN Center for Energy Awards 2002.
Dwija mengatakan dengan menjadikan gedung ramah lingkungan di Surabaya
secara tidak langsung bisa mengurangi pemanasan global. Bangunan atau gedung
dengan banyak kaca justru mampu menyumbang karbon sampai 50 persen. Selain gedung pemerintahan dan swasta, Pemkot Surabaya juga sudah menerapkannya
di sistem tersebut di tingkat perkampungan melalui “green and clean”, seperti
Kampung Legundi yang kini sudah bisa mengolah limbahnya sendiri. Sistem “green building” tentunya harus didukung dengan penataan jalan yang
lebih baik. Ia memberikan contoh kondisi jalan yang ada, seperti Jalan Lingkar
Timur, Lingkar Luar Timur, Jalan Lingkar Luar Barat dan lainnya. Semua itu
menjadi pendukung Surabaya untuk menjadi Green City. Ia mengatakan sebaik apapun bangunan didesain, namun jika pengguna tidak
tahu berprilaku yang baik sesuai prinsip “green building”, maka percuma saja.
Seperti halnya, jika seseorang menggunakan ac secara berlebihan sampai 16
derajat celcius, padahal kenyataan orang tersebut kedinginan sehingga harus
memakai selimut. Contoh tersebut adalah fakta bahwa masyarakat tidak punya sensitivitas
terhadap lingkungan.